Sabtu, 30 April 2016

Kue Putu dan Koin Rp. 100




Sore kemarin, sebagai cemilan untuk menemani dinginnya gerimis, kupilih kue putu sebagai sajian hangatnya. “ngiiiikkkkk” mungkin begitulah sirenanya, menandakan sang penjual kue putu lewat depan kos. Bergegas aku bangun dan berteriak, “Pak, masih ada?”,

“masih mbak” jawab bapaknya penjualnya. Bapak penjualnya nampak segar dan kuat. Perawakannya tegap dengan kulit sawo matangnya. Yaaa,, khas kulit orang jawa, manis. Beliau juga sangan santun dengan senyum sumringahnya.


“berapaan pak?” tanyaku.


“10 biji, tujuh ribu mbak” sahut bapaknya tegas.


“emm,, lima ribu bisa pak?” karena uangku yang kecil tinggal lima ribuan, males lagi kalau kasih yang besar nanti ada kembaliannya, bisa jadi entah kemana kembalian itu raib oleh tangan hilafku. (LOL)


Bapaknya kemudain mulai meracik sejumlah kue putu sesuai pesananku. Dengan telaten beliau memasukkan tepun kuenya kedalam cetakan bambu kecil berdiameter kira-kira 2 cm diikuti gula merah, kemudian ditumpuk lagi dengan tepung. Satu-persatu diletakkannya diatas lubang-lubang kecil yang menghembuskan hawa panas dari air mendidik dibawahnya.


Taraaa....Tujuh biji kue putu pesananku pun telah siap, kemudian dibungkus dengan daun pisang yang kemudian dibalut dengan koran bekas. Kuserahkan uang Rp.5000 pada bapaknya sembari mengucap terimakasih.


“iya, tunggu mbak, ada kembaliannya” jawab bapak itu bernada memanggil kembali aku yang mulai membalikkan badan untuk segera kembali ke kosku.


Dalam hati aku mikir  “kembalian?, perasaan ini pas deh”  aku diam sementara Bapaknya membuka laci tempatnya mengumpulkan uang hasil penjualannya, kemudian  merogoh koceknya, “tunggu ya mbak” sahut beliau agak tergesa. 


“ah, ini mbak, Rp.700 ya perbijinya” dengan nada lega mengulurkan uang perak Rp.100.

Aku melongo, “oalaahh,, ngak apa2 pak” sahutku dengan senyum lebar.


“jangan mbak, ini kan hak mbak, dan saya mengambil sesuai hak saya” sahut Bapak putu itu sembari menancap kembali buih bambu untuk menutupi tiap lubang uap panasnya.  


“Iya pak, makasih”, ku ambil kembalian receh Rp.100 itu. Aku berlalu meninggalkan bapak kue putu. Senyumku merekah, aku masih terkesima dengan uang logam Rp.100 yang ku pegang  itu.



***

Kawan, mungkin bapak putu itu bukan penjual pertama yang kita temukan begini. Mungkin juga di luar sana banyak yang menemukan penjual seperti ini. Tapi kadang kita jarang mengambil pelajaran dari hal kecil seperti ini.

Aku kagum akan pelajaran yang ku dapat kemarin dari bapak kue putu itu.  Beliau menjaga kebersihan rezekinya dari yang bukan haknya. Padahal buat kita berapa sih 100 perak? Bisa dipakai buat apa?, bahkan untuk buang air di wc umum aja kita butuh paling ngah Rp.1.000.


Hal seperti inilah yang harus kita hargai, perilaku seperti inilh yang harus kita teladani. Masih banyak juga orang yang menjaga kehalalan rezeki mereka. Walau sekecil apapun jumlah rejeki yang mereka kumpulkan, tapi itu bukan tentang jumlahnya, melainkan keberkahannya. 





Mi_Zan (30-04-'06) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar